Secara jujur, Islam itu terbuka, bahwa (salah satu)
fungsi syariat pernikahan adalah untuk menghalalkan hubungan laki-laki dan
perempuan. Jadi, seorang muslim tak perlu tergesa-gesa berpikir atau
mengeluh ;
menikah hanya
untuk kepuasan seksual(!). Tak apa jika dikatakan bahwa memang tujuan kita
menikah seperti itu, biar tidak seperti hewan. Sejujurnya memang begitu.
Syariat Pernikahan
:
Sebuah Refleksi ADA BEBERAPA tujuan diturunkannya
syariat pernikahan. Tujuan tersebut antara lain :
menyambung
keturunan dan menghalalkan syahwat seksual melalui keluarga yang bahagia
(sakinah). Syariat ini adalah syariat yang membedakan manusia dengan hewan,
jika manusia diatur dalam menyalurkan hasrat seksualnya, maka dalam dunia
perhewanan tidak ada aturan yang mengikat. Aturan itu, sebut saja, dalam
dunia syariat yang diperuntukkan buat manusia, menikahi perempuan yang
telah bersuami tidak diperbolehkan, sedangkan dalam dunia perhewanan sama
sekali tidak ada larangan.
Mengapa manusia dan hewan
dibedakan?
Bukankah sama-sama makhluk ciptaan tuhan? Dalam dunia
yang serba maju sekarang ini, yang dipenuhi dengan manusia-manusia aneh,
sering muncul terminologi “diskriminasi�.
Mungkin,
keputusan Tuhan tersebut bisa melahirkan â€کide’ bahwa syariat terasa
men-'diskriminasi' atas manusia, kenapa hewan dibebaskan dari aturan
menyalurkan hasrat seksual dan manusia diatur sedemikian â€کnjlimet’(?)
. Pertanyaan ini bukan rekaan saya. Dalam dunia yang
semakin liberal, pertanyaan-pertanyaan yang jauh lebih aneh lagi sering
saya dapatkan. Saya menyadari, orang seperti ini belum banyak mempelajari
syariat Islam, dari pengertian, tujuan, pembagian, dan sebagainya.
*** Salah satu persyaratan menjadi terbebani kewajiban
syariat –orangnya disebut mukallaf— adalah berakal. Keberakalan
seseorang menjadi syarat utama bahwa orang itu adalah mukallaf, alias wajib
melakukan aturan-aturan syariat. Maka, bagi siapapun yang merasa berakal,
tidak ada kata lain justru menghormati keberakalannya dengan mengikuti
petunjuk syariat. Termasuk syariat Islam tentang pernikahan ini, hendaknya
tidak dianggap remeh. Ia sejatinya syariat yang membuktikan keampuhannya
untuk —seperti tadi— membedakan manusia dengan hewan.
Syariat Islam menyatakan bahwa syariat tidak berlaku
bagi :
1.
Orang yang tidak berakal alias
orang gila. Orang gila tidak wajib, misalnya, melakukan sholat. Ia tidak
mempunyai kewajiban sama sekali, tetapi ia mempunyai hak, yaitu hak untuk
diupayakan kesembuhannya oleh orang yang ada di sekitarnya. Kewajiban ini,
bagi orang yang ada di sekitarnya, hukumnya fardhu kifayah, yaitu kewajiban
kolektif. Maksudnya, jika seseorang telah merawatnya, maka orang-orang
Islam lainnya telah gugur kewajibannya.
2.
Anak kecil yang belum bisa membedakan mana
yang baik dan mana jelek, atau sering disebut dengan “belum
akil-baligh�. Ia juga tidak memiliki kewajiban untuk menjalankan syariat.
Sama dengan yang pertama, ia juga memiliki hak untuk dirawat dan dibimbing
oleh orang di sekitarnya, yang dalam hal ini adalah orang tuanya. Jika
tidak ada orang tua, maka famili yang lain. Jika masih tidak ada kemampuan,
diserahkan ke rumah yatim piatu (Darul Aytam).
3.
Orang yang tidur. Kalau seseorang
ketiduran, maka orang tersebut “kehilangan� kewajiban “pada saat
tidur�, dan begitu bangun kewajiban itu “kembali� dengan sendirinya.
Melakukan kewajiban yang tertinggal disebut dengan Qadhlo’.
Ketiga kategori
di atas bukan bikinan saya, atau para ulama fikih, melainkan hadis Nabi
Muhammad SAW. Keadaan-keadaan lain seperti pingsan, sakit dan lainnya, bisa
dianalogikan pada ketiga keadaan di atas. Misalnya, pingsan dimasukkan pada
kategori “hilangnya akal� (gila). Orang sakit dimasukkan dalam kategori
“tidur�. Demikian, silahkan mencari keadaan-keadaan mendesak lainnya.
Tidak perlu dikhawatirkan, Insya Allah semua sudah dipikirkan dalam fikih
Islam.
*** Secara jujur,
Islam terbuka bahwa (salah satu) fungsi syariat pernikahan adalah untuk
menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan. Jadi, seorang muslim tak
perlu tergesa-gesa berpikir atau mengeluh ; menikah hanya untuk kepuasan
seksual(!). Tak apa jika dikatakan bahwa memang tujuan kita menikah
seperti, biar tidak seperti hewan. Sejujurnya memang begitu.
14 abad yang lalu, di depan para sahabat, Nabi Muhammad
saw bersabda : Besok akan datang suatu zaman di mana banyak anak tak
berayah. Sahabat bertanya, apa maksudnya? Mana mungkin perempuan mengandung
tanpa lelaki?
Nabi saw
menjawab, bahwa maksudnya adalah banyak anak lahir tanpa ada ikatan pernikahan
yang sah. Ya, beliau SAW sudah tahu itu semua, bahwa akan datang zaman
dimana manusia menyalurkan hasrat seksualnya layaknya hewan. Saya selalu
teringat hadits beliau ini karena di rumah saya ada seekor kucing betina
yang setiap tiga bulan hamil, melahirkan 3 anaknya, hamil lagi, melahirkan
lagi, tanpa saya tahu kucing mana yang menghamilinya.
Saya berpikir, bayangkan jika Allah swt tidak menurunkan
syariat pernikahan kepada manusia, maka tidak ada kata lain selain
kekacauan yang dahsyat. Hanya akal saja yang dapat membedakan manusia
dengan hewan. Soal lainnya, sama. Hewan butuh makan juga tempat berteduh.
*** Kalau seorang muslim sudah menikah, maka segalanya menjadi halal.
Dalam Al-Qur'an, “perempuan-perempuan adalah baju bagi
kalian, dan kalian adalah baju bagi mereka�. Pakailah baju kalian
sepuasnya. Tak masalah, yang penting adalah : hubungan tersebut telah sah
secara syariat. Selain akal, yang membedakan manusia dengan hewan adalah
hati (nurani), atau qalbu. Tetapi, persoalan â€کhati’ tidak masuk dalam
persoalan syariat, karena urusan batin (hati) adalah urusan Allah SWT.
Tak seorang pun bisa mengetahuinya, hingga ada ungkapan
“dalamnya samudera bisa diukur, tetapi dalamnya hati tidak�.
Ada ayat
al-Qur’an yang berhubungan dengan â€کhati’ ini. “Dan sesungguhnya
Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia,
mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
ayat-ayat Allah dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya
untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga
tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi�. (surat
Al-A'raf)
Hadist Nabi SAW soal anak tak berayah ?
di atas tadi
mengilhami saya untuk (semakin) memahami peringatan dari al-Qur'an bahwa,
“manusia, sekalipun memiliki akal, ternyata bisa lebih sesat daripada
hewan�, karena meninggalkan syariat tadi.
Dulu, pada jahiliyah pra Nabi saw, manusia biasa
membunuh bayi atau anak kecil yang perempuan (Wa’dul Banأ¢t). Sebagian
orang pada saat itu malu jika mempunyai anak perempuan, karena ia dianggap
tak berguna.
Jahiliyahisme sekarang lain lagi, anak belum lahir sudah
dibunuh. Kebanyakan, hal ini akibat dari hubungan seksual ala hewan. Jadi,
selain berfungsi menyalurkan hasrat seksual secara halal, pernikahan adalah
sarana untuk melanjutkan keturunan yang bahagia.
Orang yang membunuh janin itu sedang “lupa�, tidak
sadar dan tidak tahu, bahwa jangankan manusia, bahkan janin pun memiliki
status yang sama dengan anak kecil yang belum baligh. Ia tak memiliki
kewajiban tetapi memiliki hak untuk dirawat, bisa menuntut di akherat nanti
dan juga bisa memberikan pertolongan kepada ibunya yang meninggal ketika
melahirkannya. Sama juga dengan orang yang mati, ia tidak memiliki
kewajiban lagi, tetapi memiliki hak untuk dimandikan, dikafani, dishalati,
dikubur.
Lebih dari itu,
orang yang ditinggalkannya juga wajib menyelesaikan urusan dunia si mayit
seperti utang piutang dan sebagainya.
Dari sini, kita
bisa mengetahui betapa sejak dari dalam kandungan hingga dalam kuburan
syariat selalu memberikan tuntunan.
*** Beberapa persoalan baru seputar pernikahan Ada dua
(2) hal yang ingin saya tulis soal ini.
1.
Nikah Normal (Nikah
Agama-Negara), ini adalah istilah saya, adalah pernikahan yang dilakukan
melalui 2 prosedur sekaligus, yakni prosedur agama plus prosedur negara
(pencatatan sipil).
2.
Nikah Sirri (Nikah Agama saja) artinya
nikah secara rahasia. Pernikahan rahasia sebenarnya hanya masalah prosedur
hukum saja, sebab yang namanya akad nikah harus dengan wali dan dua orang
saksi dan dengan mahar. Adapun Nikah Sirri yang sering kita dengar,
maksudnya adalah akad nikah dengan tanda melalui
prosedur resmi, misalnya tidak melalui KUA atau Kantor Catatan
Sipil. Perlu diingat bahwa, dalam akad Nikah Sirri, yang menikahkan harus
wali/orang tua atau orang lain yang berhak menjadi wali. Dan dalam Nikah
Sirri, karena tidak terlindungi secara hukum, maka hak-hak suami dan isteri
tidak bisa terjamin secara hukum negara, artinya hak untuk gugatan yang
berkaitan dengan pernikahan tidak bisa dimiliki karena pernikahan belum sah
secara hukum (negara). Ketika syariat pernikahan memasuki hukum
konvensional, maka yang diaplikasikan adalah nilai maslahat (kebaikan) yang
ada dalam pernikahan itu. Misalnya, pencatatan sipil. Memang, dalam syariat
Islam, tidak ada perintah secara tekstual untuk mendaftar ke negara bahwa
“kami adalah pasangan yang sah menurut agama�. Tetapi, kita bisa
men-qiyas-kan (analogi) kemaslahatan ini pada “perintah untuk mencatat segala
hal yang berhubungan hutang� (QS. Al-Baqarah) supaya tidak ada yang
dirugikan di kemudian hari. Dalam hukum konvensional,yang sebenarnya
melalui prinsip qiyas bisa disebut hukum agama juga, pencatatan seperti ini
sering disebut nota keuangan. Walaupun ayat tentang “perintah untuk
mencatat segala hal yang berhubungan hutang� adalah bukan kewajiban
(lin-nadb), tetapi untuk jaman sekarang ini, pencatatan yang berhubungan
dengan hal-hal penting kemanusiaan, sangat diperlukan sehingga menurut saya
hukumnya wajib. Tentu ini berlaku untuk hal-hal besar, sedangkan hal kecil
seperti membeli sebungkus nasi, atau hal-hal yang diperkirakan tidak
memiliki resiko tertentu di masa mendatang, tak masalah. Demikian juga
pencatatan sipil bagi pernikahan, bisa menjadi wajib jika melihat
kemaslahatan yang diperlukan di kemudian hari ketika menghadapi sejumlah
persoalan rumah tangga.
Maka, dari sini,
pernikahan normal atau agama-negara adalah hal yang sudah jelas statusnya
di depan kita. *** Memang, jika kita kembali kepada “syariat yang
murni�, nikah (secara) agama atau Sirri, telah cukup memenuhi kehalalan
menyalurkan hasrat seksual. Tetapi, harap diingat, seperti yang tadi telah
disinggung, bahwa tujuan pernikahan bukan hanya penyaluran hasrat seksual
secara halal, tetapi juga melanjutkan keturunan, membentuk keluarga yang
bahagia dan sakأ®nah.
Mengapa dengan
keluarga sakأ®nah?
Tidak lain karena
elemen masyarakat terkecil adalah keluarga, jika keluarga tidak sakinah,
maka masyarakat pun tidak sakinah. Namun, ya itu tadi, kita menikah tidak
sepotong-potong. Maksudnya, ketika kita menikah, tidak hanya memenuhi
hasrat seksual saja, tetapi kita harus sadar bahwa pada saat itu kita telah
memasuki dunia baru dimana kita harus siap dengan segala hal yang berbeda
dengan ketika kita sendiri : urusan rumah, rizki, pembagian kerja, peran
bertetangga sampai urusan-urusan publik dan sebagainya. Hal-hal yang
memerlukan formalisme hukum seperti surat-surat kepemilikan mobil dan harta
benda lainnya dengan sendiri mewajibkan kita untuk mendaftarkan kita
sebagai pasangan yang resmi.
Sedangkan
mengenai “Nikah Sirri Sekali�, yakni pernikahan yang memang benar-benar
dirahasiakan, dalam arti para pelaku dan saksi merahasiakannya kepada orang
lain, maka dalam pernikahan aneh seperti ini saya tidak paham maksudnya.
Benar-benar tidak paham. Yang “syar'iy�, berdasarkan syariat, fungsi
saksi tidaklah hanya bersaksi keabsahan pernikahan itu, tetapi ia menjadi
semacam â€کpintu’ publikasi. Kalau sudah publikasi, maka tasyakuran adalah
medianya. Ketika seorang sahabat sowan dan matur kepada Nabi saw bahwa dia
barusan akad nikah, Nabi saw menyuruhnya untuk menyembelih seekor kambing.
Artinya, ajaklah orang-orang untuk tasyakuran (mensyukuri) pernikahan kita
dengan suguhan kambing. Suguhan kambing tentu bukan bentuk suguhan paten
yang diperintahkan. Suguhan apa saja tak masalah asalkan halal, yang
penting publikasi dan syukurannya.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar