Islam tidak mengenal istilah
pacaran.
Agama ini hanya memperbolehkan ta’aruf (mengenal)
antar lawan jenis dengan aturan-aturan yang harus ditaati. Persoalannya
terletak pada praktik pergaulan remaja/peserta didik zaman kini yang semakin
jauh meninggalkan norma agama. Ditambah dengan faktor pendidik yang masih kalah gaya dalam
menyampaikan nilai-nilai edukatif karena faktor hegemoni (serangan sporadis dan
bersifat masif) budaya barat yang –meminjam istilahnya Gus Mus– menjadi guru
tiap warga Indonesia.
Pacaran ada karena ada daya tarik
lawan jenis yang merupakan fitrah yang diberikan Allah kepada setiap makhluk-Nya.
Ibarat senjata, manusia yang dibekali oleh Allah berupa potensi baik dan buruk,
penggunaannya tergantung dari menang kalahnya kedua potensi itu. Kalau potensi
baik menang, hasilnya adalah ketakwaan. Namun bila potensi buruk yang menang,
maka tidakan tercela yang akan dilakukan.
Setiap perilaku insan selalu
melibatkan nafsu yang menurut al-Qur’an cenderung mengajak kepada keburukan dan
kejahatan. Kemudian upaya manusia untuk menuju surga yang pasti didamba
haruslah dibekali dengan keimanan dan ketakwaan.
Dengan demikian nafsu harus dibatasi geraknya oleh iman dan takwa ketika
mengajak kepada tindakan tercela. Perjuangan untuk memenangkan kebaikan atas
keburukan pada tiap manusia berlangsung dari baligh(dewasa menurut
aturan agama) hingga meninggal.
Kemudian dalam konteks pacaran,
terserap nilai kebinatangan yang menuntut pemuasan biologis individu. Sedangkan
agama mengatur secara tegas tentang pernikahan yang merupakan satu-satunya cara
menyalurkan kebutuhan dasar manusia itu. KH. Muchith Muzadi menegaskan,
pernikahan adalah satu-satunya cara untuk menghalalkan tindakan yang paling
diharamkan agama sebelum akad nikah yaitu hubungan seksual. Zina (hubungan seks
sebelum menikah atau hubungan seks sesudah menikah tetapi dengan pasangan
selingkuh) apapun alasannya sangat diharamkan oleh seluruh agama. Zina
merupakan tindakan yang sebagaimana sering kita lihat dan dengar di pemberitaan
mediamassa, dapat menimbulkan efek psikologis dan kriminal bagi pelakunya.
Sebagian pelakunya adalah remaja (baca: peserta didik SMP dan SMA atau yang
sederajat) yang masih bau kencur. Dari perbuatan nista itu yang sering menjadi
korban adalah pihak perempuan. Mulai dari putus sekolah, bunuh diri, terjangkit
penyakit kelamin, dan perasaan berdosa yang berlebihan. Masalah moral lainnya
berupa maraknya kasus pembuangan bayi di tong-tong sampah atau kebun, baik yang
masih hidup maupun sudah meninggal, serta bertambahnya jumlah penderita
HIV/AIDS positif di kalangan remaja yang hingga saat ini belum ada obatnya dan
berakibat kematian. Secara biologis memang mereka mulai matang, namun sayangnya
mereka harus menunda untuk melakukan hubungan biologis sebelum menikah. Hal ini
menjadi persoalan yang sangat berat bagi remaja zaman sekarang ketika budaya
barat justru lebih banyak menampilkan perilaku zina. Mulai dari film dan
sinetron yang menampilkan adegan berpacaran, aktris yang memamerkan hamil di
luar nikah, serta perilaku yang mengarah kepada perzinaan. Ditambah dengan
tayangan-tayangan porno yang mudah diakses oleh remaja mulai dari internet@simbah
google(facebook,youtube,etc..), VCD/DVD, telepon genggam, majalah, hingga
tabloid. Efeknya berupa perilaku remaja yang ingin mencoba-coba karena begitu
derasnya informasi yang masuk dan tidak terkontrol. Sedangkan di pihak lain
benteng keimanan lewat media pendidikan justru mengalami ketabuan. Tabu/tidak
pantas disampaikan kepada remaja dengan alasan belum saatnya. Orang tua dan
guru di sekolah formal menurut asumsi saya, masih kurang menginformasikan
pelajaran pergaulan lawan jenis yang benar kepada remaja.
Dari informasi itu dapat
dimunculkan dua alternatif solusi berupa,
·
pertama, orang tua beserta keluarga@family sebagai pendidik utama dan
pertama berperan besar dalam mendidik, menginformasikan pengetahuan bagaimana
hubungan lawan jenis, mengawasi, mengontrol, pergaulan anak-anaknya. Kendala
utama dari solusi ini adalah kebanyakan orang tua beranggapan bahwa pendidikan
tentang ini sudah dilaksanakan oleh sekolah., madrasah, TPQ, dan lembaga
formal, informal, dan non formal lainnya. Sehingga diperlukan penyadaran kepada
orang tua tentang hal ini oleh pemerintah terkecil hingga terbesar (ketua RT
hingga presiden). Dengan kata lain, diperlukan adanya revitalisasi peran keluarga dalam
pelaksanaan pendidikan seks kepada putra-putrinya.
·
Kedua, diperlukan pola pendidikan seks terstruktur
dengan kurikulum yang jelas di lembaga formal. Selama ini pendidikan seks
sebatas dibahas di pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Itupun hanya mengenai
anatomi tubuh dan belum membahas inti pergaulan (batasan-batasan, efek negatif
hubungan bebas, serta nilai-nilai yang harus diaplikasikan dalam pergaulan).
Untuk materi
Bimbingan dan Konseling (BK) sebenarnya lebih lengkap dan memadai tentang
materi seksualitas beserta etikanya. Namun sayangnya kegiatan BK terkadang
berjalan tidak efektif.
Selama ini
terdapat anggapan bahwa pendidikan seks ini tidak diperlukan karena di samping
tabu, juga para remaja ketika sudah dewasa kelak pasti mengetahuinya. Padahal
perilaku pacaran oleh remaja akibat pengaruh budaya global cenderung mengarah
kepada perzinaan. Begitu bebasnya pergaulan sehingga budaya permisif (serba
boleh) menjadi keniscayaan.
Dari dua
alternatif solusi di atas paling tidak diharapkan dapat mengurangi bahaya
perzinaan selama masa pacaran di kalangan remaja/peserta didik. Namun sebaik
apapun pemecahan masalah ini bila tidak didukung dan dilaksanakan oleh semua
elemen masyarakat, pasti menjadi wacana semata. Wallahua’lam dan wassalam.
Sumber:
·
KH. A.
Mustofa Bisri (Gus Mus). Fikih Keseharian Gus Mus. Editor: Achmad Ma’ruf Asrori. Surabaya:
Khalista bekerjasama dengan Komunitas Mata Air. 2005.
·
KH. Abdul Muchit Muzadi. Risalah Fikih Wanita (Fiqhun-Nisa). Bandung: PT. Al Ma’arif. 1979.
·
Dan dari
berbagai sumber lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar